Kantor, Me Time, dan Haha-Hihi

Wah … tampaknya saya sudah melipir dari dunia “persosialisasian” satu dekade terakhir. Sejak saya menikah, sakit-sakitan, punya anak autis, saya hampir tidak pernah duduk manis ngobrol-ngobrol santai dengan siapa pun, termasuk dengan suami sekalipun. Hidup saya seperti selalu berkejaran dengan waktu. Bekerja di kantor yang setiap hari selalu dikejar deadline, harus sering dinas, harus standby 24 jam melayani karyawan, dan sedihnya juga harus mengerjakan pekerjaan rekan-rekan kerja saya yang kurang bertanggung jawab itu saja rasanya sudah sangat melelahkan. Sampai rumah, saya harus kerja keras lagi membagi waktu mengurus rumah tangga dan anak, dalam keadaan sakit-sakitan pula.

Buat saya yang memiliki kepribadian sanguin dan koleris yang dominan, tentu menjadi pribadi yang jarang bersosialisasi itu sebuah siksaan buat saya. Sebelumnya, hidup saya bergelimang ajakan nongkrong sana nongkrong sini, punya teman di pojokan sana-sini dan punya segudang aktivitas. Katanya suami sih, salah satu hal yang dulu menjadi hal yang memberatkan dia waktu mau melamar saya karena saya itu pecicilan, gak bisa diem. Sok sibuk sedunia. Sok penting sedunia. Sok ngatur sedunia. Gak tau apa yang diatur, dipentingin dan disibukin. Hahaha … yayayayaya. Omongan suami itu setelah saya renungkan ada benernya juga, dari segala ke-sok-sibukan saya itu saya udah “menghasilkan prestasi” apa aja juga gak jelas.

Selama sepuluh tahun, saya benar-benar tidak berteman dengan siapapun kecuali teman kantor dan mamah-mamah dari teman anak saya terapi (yang artinya orang tua ABK juga). Kehidupan sosial saya dari hari ke hari diisi dengan chit-chat dengan orang tua anak ABK yang isinya kalau tidak curhat ya sharing treatment apapun yang mungkin dapat kami upayakan untuk perkembangan anak kami.

Satu-satunya tempat saya bisa bersosialisasi adalah di kantor. Sayangnya, hanya ada segelintir anak muda di Departemen tempat saya bekerja, selebihnya adalah para suhu dan sepuh. Dua kubu tua-muda ini jarang bersatu padu, kecuali saat menyantap “traktiran” sore. Para sepuh yang merasa sudah banyak makan asam garam, hobinya hanya sibuk ceramah dan ber-hahahahaha, tapi selalu sigap menyiapkan kudapan penggugah selera. Para muda yang selalu merasa diperdaya, hanya bisa pasrah menerima sogokan makanan para sepuh yang selalu menggoda.

Saya sendiri? Sudahlah, hidup saya sudah banyak drama, mending gak ikut kubu-kubuan. Sebisa mungkin saya bersikap baik ke semua orang di kantor karena di kantor lah satu-satunya tempat saya bisa me time duduk nongkrong di toilet sambil membuang hajat yang sudah saya tahan berjam-jam di rumah, tempat saya bisa duduk sambil mengangkat kaki saat mengetik, tempat saya bisa bekerja sambil mendengarkan siaran berita atau drama India dari TV yang tidak pernah berhenti dihidupkan sejak masuk kantor sampai waktunya pulang, tempat kami mengeluarkan celetukan dan candaan tanpa henti (tangan kerja keras, mulut kerja lebih keras), tempat kami menonton pertandingan bola atau badminton sambil beryel-yel ria ditemani dengan segelas kopi atau coklat hangat dan bertumpuk-tumpuk kerjaan deadline, tempat kami terkadang berantem dengan karyawan lainnya (oiya, saya kerjanya di Dept. HR ya), tempat saya bisa membahas tanaman sampai puas (oh … bersyukurlah setengah isi Departemen saya adalah penggila tanaman). Ya … di kantor lah satu-satunya tempat saya bersosialisasi, itu pun seadanya. Selain di kantor, saya bahkan tidak pernah berinteraksi dengan teman-teman kantor, saya tidak pernah ikut kegiatan apapun. Mereka paham kerempongan saya karena mereka sendiri pun suka pusing liat saya ngejer-ngejer anak saya kesana kemari tanpa henti.

Jadi … gimana kehidupan sosialisasi saya saat pandemi? Ya … sami mawon, gak ada yang berubah karena pada dasarnya emang udah jarang bersosialisasi. Untunglah saya masih bisa ngantor setiap hari (dengan protokol ketat tentunya, dan bersyukur sampai saat ini walau kami satu persatu terjangkit Covid-19, tetapi tidak ada yang berasal dari cluster kantor), walau pekerjaannya sudah membuat saya demotivasi parah dan seringkali harus menangis, tapi rekan-rekan kerja saya selalu bisa membuat saya tersenyum dalam hitungan detik.

Penulis: sheetavia

Sanguin yang lagi belajar diem karena suka ngomong gak pake mikir

Tinggalkan komentar