Coba bayangkan sejenak kalau kita hidup di zaman yang untuk mendapatkan makanan setiap harinya harus dengan berburu, menangkap ikan, atau mencari sumber pangan di hutan! Tentunya di zaman itu tidak ada listrik apalagi kulkas atau lemari pendingin. Rasanya hari-hari kita hanya disibukkan dengan mencari dan mengolah makanan. Hidup hanya untuk bertahan hidup. Mau menangkap ikan lebih banyak hari ini biar besok bisa leyeh-leyeh, takut ikannya busuk. Mau memanen ubi lebih banyak, takut busuk.
Lambat laun para nenek moyang pun mengenal konsep bertani, beternak dan berladang agar tidak selalu mencari makanan di hutan. Permasalahan kembali muncul, jika mereka dapat memproduksi bahan makanan lebih banyak, bagaimana membuatnya bisa awet atau tahan lama karena panen tidak bisa dilakukan setiap hari, setiap tanaman atau buruan ada musimnya. Apalagi jika terjadi perubahan musim atau datang masa paceklik, tentu hasil panen atau surplus supply tersebut diharapkan dapat menutupi masa-masa kekurangan makanan. Nenek moyang kita lalu berupaya mencari cara untuk membuat panganan tersebut menjadi lebih tahan lama. Ubi misalnya dikeringkan dan dibaut tepung atau difermentasi menjadi tape. Ikan-ikan diasapi, dikeringkan, atau difermentasi. Kedelai difermentasi menjadi tempe atau oncom. Tidak hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia pun upaya pengawetan dengan bioteknologi tradisional ini banyak dilakukan, contohnya pembuatan keju di Belanda dan kimchi di Korea. Metode pengawetan seperti ini ternyata tidak hanya membuat bahan makanan dapat disimpan lebih lama, tetapi juga menambah cita rasa makanan menjadi lebih nikmat. Nah, kali ini saya akan mengulas beberapa panganan hasil fermentasi yang terkenal di daerah Sumatera Bagian Selatan. Menulisnya saja sudah membuat air liur saya bergemuruh ingin berjatuhan.
Garam Sebagai Bahan Baku Utama Proses Fermentasi
Penemuan garam sebagai bahan pengawet dipercaya sebagai tonggak kemajuan dalam semua sektor. Ditemukannya teknik pengawetan makanan membuat nenek moyang kita jadi tidak lagi hanya disibukkan untuk mencari dan mengolah makanan saja setiap harinya, tetapi mulai dapat produktif untuk menjelajah daerah-daerah baru. Makanan yang lebih awet dapat menjadi ransum perjalanan sehingga mereka dapat mengembara ke berbagai daerah. Pengembaraan ini membuat penemuan-penemuan tak terduga nantinya, mulai dari perdagangan, penemuan daerah-daerah baru sampai ke penjajahan.
Garam dulunya pernah menjadi komoditi yang sangat prestisius, harganya sangat mahal dan diperebutkan. Perang dan pertumpahan darah banyak terjadi dalam memperebutkan ladang garam. Garam bahkan pernah menjadi alat tukar di beberapa belahan dunia. Namun, lama-kelamaan sejak ditemukan teknik pembuatan garam secara massal dengan bahan baku air laut, maka garam berangsur-angsur dapat digunakan di seluruh belahan dunia oleh semua kalangan. Hal ini pun akhirnya membuka cakrawala orang-orang untuk dapat semakin produktif.
Garam mengandung sodium yang dapat mengurangi bahkan mematikan aktivitas mikroba, pertumbuhan patogen dan organisme, serta reaksi kimia yang tidak diinginkan, seperti oksidasi lipid. Selain itu, garam juga bersifat higroskopis atau menyerap air, sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia pembusukan oleh bakteri (bakteri tumbuh di tempat yang lembab). Makanya sampai saat ini garam tetap menjadi primadona dalam proses pengawetan makanan.
Tempoyak
Buat pecinta durian, jangan pernah melewatkan panganan yang satu ini ya! Yup, bahan dasar tempoyak adalah daging buah durian asli. Saat musim buah durian tiba, buah durian sangat berlimpah, sangat rugi jika si rajanya buah ini hanya dibiarkan membusuk. Orang-orang Melayu pun mencoba untuk mengawetkan daging durian dengan menggunakan garam. Teknik fermentasinya pun cukup mudah, cukup memeram daging buah durian yang sudah dipisahkan dari bijinya dengan garam secukupnya (kurang lebih 2% dari berat daging buah yang akan difermentasi) di dalam toples yang ditutup rapat selama kurang lebih satu minggu.
Jangan membayangkan rasa tempoyak sama dengan buah durian ya! Tempoyak rasanya cenderung agak asam karena proses fermentasi menyebabkan banyaknya kandungan bakteri asam laktat pada tempoyak, walau aroma duriannya masih terasa tetapi tidak lagi terlalu menusuk. Berdasarkan penelitian, banyak bakteri hasil proses fementasi durian yang baik untuk pencernaan dan daya tahan tubuh, diantaranya Lactobacillus plantarum, dan dari genus Leuconostoc, Staphylococcus, Pediococcus, dan Micrococcus.
Tempoyak dapat dimasak dengan berbagai ragam bumbu masakan sesuai selera. Orang Palembang paling banyak mengolah tempoyak menjadi sambal atau dipepes bersama ikan. Makanan berbahan tempoyak favorit saya adalah pepes tempoyak ikan patin atau ikan tapa. Wuihh….rasanya nikmat sekali! Tentunya kualitas tempoyak juga sangat dipengaruhi oleh kualitas dari daging buah durian yang menjadi bahan bakunya.

Bumbu pepes tempoyak pada gambar adalah tempoyak, duo bawang, cabai, jahe, kunyit, lengkuas, daun salam, serai, dan kemangi.
Buat yang bukan pecinta durian juga jangan khawatir koq untuk mengkonsumsi tempoyak, jika sudah menjadi tempoyak, bau dan rasa khas duriannya sudah tidak terlalu mencolok, apalagi jika sudah dimasak bersama dengan bumbu lainnya. Pokoknya tempoyak ini dijamin enak deh!
Bekasam
Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di pesisir sungai memiliki cara unik untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan. Orang Rejang di Bengkulu menggunakan rebung (umbut/tunas bambu) untuk mengawetkan ikan, yang disebut dengan Lemea. Orang-orang Banjar di Kalimantan menggunakan garam dan beras ketan sangrai untuk mengawetkan ikan, yang disebuat dengan Pekasam. Orang-orang Dayak di Kalimantan menggunakan gula aren, garam, bawang putih dan beras sangrai untuk mengawetkan ikan, yang disebut dengan Wadi. Orang-orang Palembang juga menggunakan teknik yang sama untuk mengawetkan ikan sungai, yaitu dengan menggarami lalu kemudian mencampurnya dengan nasi, yang disebut dengan Bekasam.

(sumber: travellingyuk.com)
Cara membuat bekasam juga cukup mudah, yaitu ikan sungai yang sudah dibuang sisiknya dan dibersihkan isi perutnya diasinkan dalam larutan garam 15% selama dua hari dalam wadah kedap udara. Setelah itu, ikan yang diasinkan tadi dicuci dan ditiriskan, lalu kemudian dimasukkan ke dalam toples dan dicampur dengan nasi sebagi sumber bakteri asam laktat dan sumber karbohidrat tambahan, lalu tutup rapat selama seminggu untuk proses fermentasinya.
Bekasam juga disinyalir memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Asam laktat merupakan probiotik yang baik untuk mengurangi jumlah bakteri patogen seperti E-colli dan Salmonella. Bakteri asam laktat yang terlibat dalam proses fermentasi bekasam terutama dari genus Lactobacillus. Namun, jenis bakteri Lactobacillus yang terbentuk dapat berbeda-beda pada setiap ikan yang dijadikan bahan baku. Hal tersebut menunjukan keanekaragaman mikroba dan manfaatnya pada setiap variasi Bekasam.


Variasi masakan dengan menggunakan bekasam juga beranekaragam. Kalau saya sih senengnya bekasam udang, rasanya mantaaaap. Bekasam yang ditumis dengan dengan duo bawang, cabe dan kunyit pun rasanya sudah enak. Namun, jika tidak disajikan dengan cantik dan menarik, apalagi untuk orang yang baru pertama kali mencobanya, akan dikira seperti muntahan kucing. Hihihi …

Rusip dan Terasi
Rusip dan terasi adalah makanan khas orang Bangka. Saat tangkapan ikan di laut sedang berlimpah, selain dibuat ikan asin, ikan teri biasanya diolah menjadi rusip atau terasi. Proses fermentasi rusip kurang lebih sama dengan dengan bekasam, yaitu memanfaatkan garam dan gula untuk menghasilkan asam laktat pada proses fermentasi. Bedanya, bekasam biasanya dibuat dengan menggunakan ikan sungai besar dan hasil akhirnya kering, sedangkan rusip biasanya dibuat menggunakan ikan teri laut dan hasil akhirnya banyak mengandung air. Berbeda dengan tempoyak dan bekasam yang direkomendasikan untuk dimasak, rusip dapat dimakan mentah sebagai “cocolan” lalapan. Cukup tambahkan potongan duo bawang, cabai dan serai pada rusip mentah, rasanya sudah sangat enak. Saya bahkan seringkali tidak menambahkan bumbu apapun jika makan rusip. Rasa rusip biasanya sangat asin. Jika ingin ada sensasi rasa asam pada saat penyajian rusip, bisa ditambahkan juga perasan lemon cui. Rusip juga bisa dimasak dengan berbagai variasi bumbu.

Selain rusip, terasi juga merupakan salah satu upaya untuk mengawetkan ikan atau udang kecil hasil tangkapan. Berbeda dengan rusip, terasi harus difermentasi dalam keadaan kering. Dibandingkan teknik pengawetan lainnya, terasi paling lama proses pembuatannya dan agak ribet prosesnya, biasanya memakan waktu sampai tiga bulan. Namun, rasa dan aromanya tidak dapat diragukan lagi, pasti maknyusss bukan? Gurih sekali jika ditambahkan dalam panganan. Rasa gurih ini didapat dari proses fermentasi yang dilakukan berkali-kali sehingga diproduksi enzim proteolitik dalam jumlah besar yang mendegradasi protein menjadi asam amino. Hal inilah yang membuat terasi menjadi gurih karena selain mengandung asam aspartat, juga mengandung asam glutamat, alanin, leusin, lisin, asam amino, dan nukleotida.

Adakah orang Indonesia yang tidak pernah makan terasi atau tidak menyukai terasi? Saya rasanya sih hampir tidak ada kan ya? Aroma terasi hampir dipastikan selalu membuat orang menjadi lapar!!!
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei 2022, yaitu tentang Masakan Khas Kota Mamah.

Sumber: