Makanan Serba Fermentasi Khas Sumatera Bagian Selatan

Coba bayangkan sejenak kalau kita hidup di zaman yang untuk mendapatkan makanan setiap harinya harus dengan berburu, menangkap ikan, atau mencari sumber pangan di hutan! Tentunya di zaman itu tidak ada listrik apalagi kulkas atau lemari pendingin. Rasanya hari-hari kita hanya disibukkan dengan mencari dan mengolah makanan. Hidup hanya untuk bertahan hidup. Mau menangkap ikan lebih banyak hari ini biar besok bisa leyeh-leyeh, takut ikannya busuk. Mau memanen ubi lebih banyak, takut busuk.

Lambat laun para nenek moyang pun mengenal konsep bertani, beternak dan berladang agar tidak selalu mencari makanan di hutan. Permasalahan kembali muncul, jika mereka dapat memproduksi bahan makanan lebih banyak, bagaimana membuatnya bisa awet atau tahan lama karena panen tidak bisa dilakukan setiap hari, setiap tanaman atau buruan ada musimnya. Apalagi jika terjadi perubahan musim atau datang masa paceklik, tentu hasil panen atau surplus supply tersebut diharapkan dapat menutupi masa-masa kekurangan makanan. Nenek moyang kita lalu berupaya mencari cara untuk membuat panganan tersebut menjadi lebih tahan lama. Ubi misalnya dikeringkan dan dibaut tepung atau difermentasi menjadi tape. Ikan-ikan diasapi, dikeringkan, atau difermentasi. Kedelai difermentasi menjadi tempe atau oncom. Tidak hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia pun upaya pengawetan dengan bioteknologi tradisional ini banyak dilakukan, contohnya pembuatan keju di Belanda dan kimchi di Korea. Metode pengawetan seperti ini ternyata tidak hanya membuat bahan makanan dapat disimpan lebih lama, tetapi juga menambah cita rasa makanan menjadi lebih nikmat. Nah, kali ini saya akan mengulas beberapa panganan hasil fermentasi yang terkenal di daerah Sumatera Bagian Selatan. Menulisnya saja sudah membuat air liur saya bergemuruh ingin berjatuhan.

Garam Sebagai Bahan Baku Utama Proses Fermentasi

Penemuan garam sebagai bahan pengawet dipercaya sebagai tonggak kemajuan dalam semua sektor. Ditemukannya teknik pengawetan makanan membuat nenek moyang kita jadi tidak lagi hanya disibukkan untuk mencari dan mengolah makanan saja setiap harinya, tetapi mulai dapat produktif untuk menjelajah daerah-daerah baru. Makanan yang lebih awet dapat menjadi ransum perjalanan sehingga mereka dapat mengembara ke berbagai daerah. Pengembaraan ini membuat penemuan-penemuan tak terduga nantinya, mulai dari perdagangan, penemuan daerah-daerah baru sampai ke penjajahan.

Garam dulunya pernah menjadi komoditi yang sangat prestisius, harganya sangat mahal dan diperebutkan. Perang dan pertumpahan darah banyak terjadi dalam memperebutkan ladang garam. Garam bahkan pernah menjadi alat tukar di beberapa belahan dunia. Namun, lama-kelamaan sejak ditemukan teknik pembuatan garam secara massal dengan bahan baku air laut, maka garam berangsur-angsur dapat digunakan di seluruh belahan dunia oleh semua kalangan. Hal ini pun akhirnya membuka cakrawala orang-orang untuk dapat semakin produktif.

Garam mengandung sodium yang dapat mengurangi bahkan mematikan aktivitas mikroba, pertumbuhan patogen dan organisme, serta reaksi kimia yang tidak diinginkan, seperti oksidasi lipid. Selain itu, garam juga bersifat higroskopis atau menyerap air, sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia pembusukan oleh bakteri (bakteri tumbuh di tempat yang lembab). Makanya sampai saat ini garam tetap menjadi primadona dalam proses pengawetan makanan.

Tempoyak

Buat pecinta durian, jangan pernah melewatkan panganan yang satu ini ya! Yup, bahan dasar tempoyak adalah daging buah durian asli. Saat musim buah durian tiba, buah durian sangat berlimpah, sangat rugi jika si rajanya buah ini hanya dibiarkan membusuk. Orang-orang Melayu pun mencoba untuk mengawetkan daging durian dengan menggunakan garam. Teknik fermentasinya pun cukup mudah, cukup memeram daging buah durian yang sudah dipisahkan dari bijinya dengan garam secukupnya (kurang lebih 2% dari berat daging buah yang akan difermentasi) di dalam toples yang ditutup rapat selama kurang lebih satu minggu.

Jangan membayangkan rasa tempoyak sama dengan buah durian ya! Tempoyak rasanya cenderung agak asam karena proses fermentasi menyebabkan banyaknya kandungan bakteri asam laktat pada tempoyak, walau aroma duriannya masih terasa tetapi tidak lagi terlalu menusuk. Berdasarkan penelitian, banyak bakteri hasil proses fementasi durian yang baik untuk pencernaan dan daya tahan tubuh, diantaranya Lactobacillus plantarum, dan dari genus Leuconostoc, Staphylococcus, Pediococcus, dan Micrococcus.

Tempoyak dapat dimasak dengan berbagai ragam bumbu masakan sesuai selera. Orang Palembang paling banyak mengolah tempoyak menjadi sambal atau dipepes bersama ikan. Makanan berbahan tempoyak favorit saya adalah pepes tempoyak ikan patin atau ikan tapa. Wuihh….rasanya nikmat sekali! Tentunya kualitas tempoyak juga sangat dipengaruhi oleh kualitas dari daging buah durian yang menjadi bahan bakunya.

Pepes Patin tempoyak: rasa duriannya sudah hilang digantikan dengan rasa asam manis yang tidak legit, enak sekali.
Bumbu pepes tempoyak pada gambar adalah tempoyak, duo bawang, cabai, jahe, kunyit, lengkuas, daun salam, serai, dan kemangi.

Buat yang bukan pecinta durian juga jangan khawatir koq untuk mengkonsumsi tempoyak, jika sudah menjadi tempoyak, bau dan rasa khas duriannya sudah tidak terlalu mencolok, apalagi jika sudah dimasak bersama dengan bumbu lainnya. Pokoknya tempoyak ini dijamin enak deh!

Bekasam

Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di pesisir sungai memiliki cara unik untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan. Orang Rejang di Bengkulu menggunakan rebung (umbut/tunas bambu) untuk mengawetkan ikan, yang disebut dengan Lemea. Orang-orang Banjar di Kalimantan menggunakan garam dan beras ketan sangrai untuk mengawetkan ikan, yang disebuat dengan Pekasam. Orang-orang Dayak di Kalimantan menggunakan gula aren, garam, bawang putih dan beras sangrai untuk mengawetkan ikan, yang disebut dengan Wadi. Orang-orang Palembang juga menggunakan teknik yang sama untuk mengawetkan ikan sungai, yaitu dengan menggarami lalu kemudian mencampurnya dengan nasi, yang disebut dengan Bekasam.

Pakasam Khas Banjar yang dilumuri tepung ketan sangrai
(sumber: travellingyuk.com)

Cara membuat bekasam juga cukup mudah, yaitu ikan sungai yang sudah dibuang sisiknya dan dibersihkan isi perutnya diasinkan dalam larutan garam 15% selama dua hari dalam wadah kedap udara. Setelah itu, ikan yang diasinkan tadi dicuci dan ditiriskan, lalu kemudian dimasukkan ke dalam toples dan dicampur dengan nasi sebagi sumber bakteri asam laktat dan sumber karbohidrat tambahan, lalu tutup rapat selama seminggu untuk proses fermentasinya.

Bekasam juga disinyalir memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Asam laktat merupakan probiotik yang baik untuk mengurangi jumlah bakteri patogen seperti E-colli dan Salmonella. Bakteri asam laktat yang terlibat dalam proses fermentasi bekasam terutama dari genus Lactobacillus. Namun, jenis bakteri Lactobacillus yang terbentuk dapat berbeda-beda pada setiap ikan yang dijadikan bahan baku. Hal tersebut menunjukan keanekaragaman mikroba dan manfaatnya pada setiap variasi Bekasam.

Bekasam ikan mujair (sumber: blibli.com)

Variasi masakan dengan menggunakan bekasam juga beranekaragam. Kalau saya sih senengnya bekasam udang, rasanya mantaaaap. Bekasam yang ditumis dengan dengan duo bawang, cabe dan kunyit pun rasanya sudah enak. Namun, jika tidak disajikan dengan cantik dan menarik, apalagi untuk orang yang baru pertama kali mencobanya, akan dikira seperti muntahan kucing. Hihihi …

Bekasam yang sudah dimasak (sumber: remas.nu)

Rusip dan Terasi

Rusip dan terasi adalah makanan khas orang Bangka. Saat tangkapan ikan di laut sedang berlimpah, selain dibuat ikan asin, ikan teri biasanya diolah menjadi rusip atau terasi. Proses fermentasi rusip kurang lebih sama dengan dengan bekasam, yaitu memanfaatkan garam dan gula untuk menghasilkan asam laktat pada proses fermentasi. Bedanya, bekasam biasanya dibuat dengan menggunakan ikan sungai besar dan hasil akhirnya kering, sedangkan rusip biasanya dibuat menggunakan ikan teri laut dan hasil akhirnya banyak mengandung air. Berbeda dengan tempoyak dan bekasam yang direkomendasikan untuk dimasak, rusip dapat dimakan mentah sebagai “cocolan” lalapan. Cukup tambahkan potongan duo bawang, cabai dan serai pada rusip mentah, rasanya sudah sangat enak. Saya bahkan seringkali tidak menambahkan bumbu apapun jika makan rusip. Rasa rusip biasanya sangat asin. Jika ingin ada sensasi rasa asam pada saat penyajian rusip, bisa ditambahkan juga perasan lemon cui. Rusip juga bisa dimasak dengan berbagai variasi bumbu.

Rusip: ikan teri-nya masih berbentuk ikan, tidak ikut hancur saat fermentasi

Selain rusip, terasi juga merupakan salah satu upaya untuk mengawetkan ikan atau udang kecil hasil tangkapan. Berbeda dengan rusip, terasi harus difermentasi dalam keadaan kering. Dibandingkan teknik pengawetan lainnya, terasi paling lama proses pembuatannya dan agak ribet prosesnya, biasanya memakan waktu sampai tiga bulan. Namun, rasa dan aromanya tidak dapat diragukan lagi, pasti maknyusss bukan? Gurih sekali jika ditambahkan dalam panganan. Rasa gurih ini didapat dari proses fermentasi yang dilakukan berkali-kali sehingga diproduksi enzim proteolitik dalam jumlah besar yang mendegradasi protein menjadi asam amino. Hal inilah yang membuat terasi menjadi gurih karena selain mengandung asam aspartat, juga mengandung asam glutamat, alanin, leusin, lisin, asam amino, dan nukleotida.

Terasi yang diulek bersama cabai saja sudah sangat maknyus rasanya

Adakah orang Indonesia yang tidak pernah makan terasi atau tidak menyukai terasi? Saya rasanya sih hampir tidak ada kan ya? Aroma terasi hampir dipastikan selalu membuat orang menjadi lapar!!!

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei 2022, yaitu tentang Masakan Khas Kota Mamah.

Sumber:

https://www.kompas.com/food/read/2021/04/24/220200975/cara-bikin-terasi-sendiri-di-rumah-bisa-untuk-jualan?page=all.

Iklan

Mari Kita Uji di Bulan Ramadan

Tidak terasa kita sudah mulai memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadan, sejak menikah 11 tahun yang lalu, boleh dibilang ini adalah Ramadan terbaikku. Walaupun masih cukup tertatih-tatih berpuasa karena GERD dan anak-anak serta suami bergiliran sakit di saat memasuki bulan Ramadan sampai pertengahan Ramadan, aku sangat bersyukur karena masih cukup kuat untuk menjalani ibadah puasa dan ibadah lainnya. Beberapa tahun lalu, aku bahkan tidak kuat berpuasa. Jika kuikhtiarkan untuk puasa seharian penuh, aku harus siap terkulai lemas sejak pertengahan hari. Bahkan, aku pernah tidak bisa puasa satu bulan penuh.

Hal yang paling membahagiakanku di bulan Ramadan ini tentunya adalah sudah diperbolehkannya kembali untuk solat tarawih berjaaah di masjid. Aku memang lebih memilih solat berjamaah saja, sejak bacaanku banyak dikoreksi oleh guru tahsinku untuk persiapan sanad (dan tentu masih jauh dari kata ahsan), aku lebih memilih berjamaah saja dengan imam yang bacaannya baik. Jika tahun-tahun sebelumnya (sebelum pandemi) aku hanya pergi ke masjid berdua dengan si Kakak, Alhmdulillah kali ini aku bisa mengajak pasukan komplit: suamiku dan dua anakku, yah … walau suamiku tetap tidak bisa setiap hari menemani kami karena kami masih menjalani LDM. Bertahun-tahun ini aku sudah berupaya semaksimal mungkin mengajari si Kakak–anakku yang autis dan saat ini sudah berusia sembilan tahun– untuk tertib solat berjamaah.

Latihan solat berjamaah sudah kumulai sejak Kakak berusia lima tahun. Setiap magrib, kuajak dia solat berjamaah di masjid dan di waktu solat lainnya kuajak dia solat berjamaah bersamaku di rumah. Dengan kondisi si Kakak dulunya yang sangat hiperaktif dan tidak memahami aturan sosial, jangan harap ia bisa tertib saat solat berjamaah. Mengajaknya solat berjamaah di masjid artinya aku harus rela untuk berlari-larian mengejarnya, harus siap minta maaf ke jamaah yang mungkin terganggu, dan harus siap membatalkan solat setiap kondisi tidak kondusif karena ia mulai berulah. Tujuanku satu: membiasakannya untuk solat berjamaah dengan tertib, tak peduli walau entah berapa bulan atau berapa tahun lagi Kakak akan memahaminya. Dengan kondisinya yang seperti itu, aku tidak pernah tahu kapan perilakunya akan membaik, sebagai orang tua aku hanya paham untuk terus berikhtiar semaksimal mungkin. Sangat tidak mungkin mengharapkan anak ABK akan sadar dengan sendirinya tanpa latihan pembiasaan yang kontinyu. Namun, aku juga harus tahu diri, mengajak anakku dengan kondisi hiperaktif seperti itu artinya tidak boleh membuat jamah lain terganggu.

Memilih masjid ramah anak juga penting untuk mulai mengajarkan anak-anak solat berjamaah. Eits … tetapi ramah anak bukan berarti membiarkan anak-anak kita ribut tak terkendali ya sehingga mengganggu jamaah lainnya.

Alhmdulillah usahku (dan tentu juga dibantu dengan para terapisnya yang juga membiasakannya solat berjamaah) mulai membuahkan hasil. Tahun kemarin tidak kusangka Kakak mulai bisa ikut solat tarawih berjamaah di rumah dengan tertib, bahkan bisa ikut sampai solat witir. Rentang waktu yang cukup panjang untuk membuatnya tetap konsentrasi dan mau tertib aturan. Sayangnya, kebahagiaanku tidak bertahan lama, beberapa bulan kemudian Kakak mulai ogah-ogahan untuk solat. Aku mulai coba mengajarkan Kakak tentang konsekuensi: jika Kakak tidak solat berjamaah dengan tertib sampai selesai, ia harus kembali mengulang solat sendiri sambil kutunggui. Hal ini juga kulakukan untuk melancarkan bacaan solatnya.

Ketika pandemi mulai terkendali, aku mulai mengajak anak-anak kembali solat di masjid. Kondisi pandemi membuat masjid cukup sepi sehingga cukup aman untuk mengajak anak-anak solat berjamaah. Berbulan-bulan aku membiasakan anak-anak untuk solat berjamaah kembali di masjid. Apakah berhasil? Tentu tidak pemirsah, dramanya banyaaaak. Grafik ketertibannya naik turun. Si Adek yang belum berusia tiga tahun–anak yang terkurung lama karena pandemi–benar-benar heboh melihat masjid. Kakak juga tidak mau kalah dengan adek: kalau bisa main kenapa harus solat?

Dengan bekal latihan solat berjamaah yang sudah berbulan-bulan ini kami lakukan, bulan Ramadan ini adalah waktu yang tepat untuk mengujinya. Masalahnya, selama ini Kakak tidak pernah ikut solat berjamaah dengan jamaah laki-laki, sedangkan tubuhnya sudah mulai besar untuk terus bisa ikut solat berjamaah bersamaku di dalam barisan perempuan, tetapi aku juga belum cukup berani membiarkan dia sendiri dengan jamaah laki-laki, masih sangat rentan untuk mengganggu jamaah jika tidak dalam pengawasan atau bahkan dikhawatirkan akan hilang. Alhmdulillah ayahnya sudah mulai bisa menemani kami menjalankan solat tarawih, jadi Kakak sesekali bisa ikut dalam jamaah laki-laki. Jika ayahnya sedang tidak ada, yah … terpaksa Kakak harus ikut jamaah perempuan lagi bersamaku. Alhamdulillah selama Ramadan tahun ini kami hanya beberapa kali absen solat tarawih di masjid. Tak kusangka Kakak malah tertib solatnya, walau ogah-ogahan, yang pasti dia tidak kabur dari barisan. Sayangnya, Kakak tidak bisa full ikut sampai witir karena jam tidurnya maksimal jam setengah sembilan malam, kecuali kalau imamnya solatnya ngebut, bisa deh sampai witir.

Mulai mengantuk, artinya kami harus siap pulang jika kondisinya sudah begini

Bagaimanapun anak-anak tetap anak-anak, mereka masih belum bisa konsentrasi dalam waktu yang lama.

Semoga Ramadan kali ini memberikan kesan yang mendalam untuk Kakak dan adek sehingga kita selalu akan merindukan datangnya Ramadan. Semoga Ramadan selanjutnya Kakak sudah bisa solat mandiri dengan tertib bersama jamaah laki-laki dan bisa ikut puasa Ramadan juga. Tahun ini Kakak baru berhasil sekali puasa setengah hari, hihihi.

Tentang Hobi

Kalau ditanya tentang hobi ke emak-emak, biasanya mereka sih punya hobi yang cukup produktif. Ada emak-emak yang hobi memasak, menjahit, berolahraga, bercocok tanam, travelling, dandan, nonton, desain sesuatu, menulis, membaca, dll. Hobinya emak-emak biasanya berkolerasi positif untuk kebaikan keluarga. Apalagi emak-emak jaman now yang tuntutan untuk pamer, giving positif vibes, dan kompetitif-nya kuat; harus donk punya hobi yang bisa kasih nilai tambah. Wkwkwk … belum apa-apa saya udah judging duluan ya Mah, seakan-akan orang punya hobi bagus-bagus cuma untuk pamer aja. Yah begitulah Mah, jaman now judging itu juga termasuk hobi netizen sejagat raya kan ya? Padahal orang mau hobi apapun itu hak asasi dia, mau dipamerin atau enggak, apa pun tujuannya, as long as dia senang melakukannya dan tidak mengganggu orang lain sah-sah aja, termasuk jika hobi itu dianggap “kurang produktif”, seperti “leyeh-leyeh” aka MaGer (malas gerak). Bagi sebagian emak-emak, “leyeh-leyeh” itu adalah suatu kemewahan, bukan? Mengosongkan isi kepala selama beberapa saat, tanpa memikirkan apa-apa sambil gegoleran itu adalah mimpi semua emak-emak. Setuju?

Hobinya Bapak-bapak

Berbeda dengan emak-emak, bapak-bapak biasanya memiliki hobi yang “kurang produktif”, contohnya bermain game, main burung, koleksi gadget, koleksi MoGe (Motor Gede), ikut klub mobil, dll.

Hobi mahal bapak-bapak (sumber: https://otomotif.tempo.co/)

Dalam menggeluti hobinya, bapak-bapak itu cenderung impulsif. Pokoknya dibela-belain. Mau harganya selangit, dibeli. Mau dapetinnya di ujung dunia, dijabanin. Mau ngerjainnya sampe larut malam, tahan bergadang. Alhasil, hobinya bapak-bapak biasanya akan memantik hobi terpendam emak-emak: NGOMEL-NGOMEL (eh, itu tidak masuk dalam kategori hobi ya, karena tidak menyenangkan dan tidak hanya dilakukan di waktu luang, tetapi dilakukan di sepanjang muka si bapak keliatan). Tak jarang juga akhirnya hobi bapak-bapak ini malah mengganggu keharmonisan keluarga. Terkadang, bapak-bapak lebih cenderung mengutamakan hobinya dibanding keluarga. Tak jarang pula, uang bapak-bapak malah diprioritasin untuk hobinya dibanding untuk kebutuhan keluarga.

Loh … kenapa jadi ghibahin hobinya bapak-bapak nih? Soalnya terlaksana atau tidaknya emak-emak dalam menyalurkan hobinya juga banyak bergantung dari bapak-bapak. Kalau bapak-bapaknya support emak-emak dalam mewaraskan dirinya melalui hobi, kan aman dunia.

Oiya, tetapi dalam melaksanakan hobi, emak-emak juga bisa banget impulsif, terutama saat belanja keperluan hobi. Sesuatu yang menyenangkan kita itu cenderung gak kita timbang-timbang lagi untuk mendapatkannya. Segala hal tentang hobi itu “lucu” bukan “butuh”, kontrol diri kita akan lemah untuk hal-hal terkait hobi, sehingga kita cenderung tidak bisa menentukan konsekuensi atas tindakan yang kita lakukan.

Pentingkah Mengetahui Hobi Seseorang?

Di luar hubungan pekerjaan, kita cenderung membentuk relasi dengan orang-orang yang memiliki kecenderungan aktivitas dan hobi yang sama. Di social media misalnya, kita lebih cenderung kepo dengan kegiatan yang berhubungan dengan hobi. Buat saya pribadi, sudah menjadi kesenangan tersendiri melihat orang-orang melakukan hobinya.

Ngepoin aktivitas orang lain yang sama hobinya dengan saya sudah membuat saya bahagia

Menurut saya penting sih untuk mengetahui hobi seseorang, apalagi saat sudah mulai berumur dan waktu sudah sangat begitu terbatas dan berharga. Berinteraksi dengan orang-orang yang sefrekuensi hobinya membuat kita lebih kreatif, produktif dan happy sesuai dengan jalur yang kita pilih. Kita harus selektif memilih mana hobi yang bermanfaat untuk kita dan membuat kita bertumbuh dan berkembang.

Hobi Saya Bercocok Tanam

Jika definisi hobi adalah sesuai dengan definisi di wikipedia atau KBBI yang harus mengandung unsur “menyenangkan” dan “waktu luang”, maka  sulit untuk mengatakan bahwa “kegemaran” saya bercocok tanam itu sebagai “hobi” karena saya memang benar-benar mengerjakannya tidak pernah di waktu luang. Bercocok tanam biasanya saya lakukan sambil mengasuh atau menemani anak-anak bermain. Yah, setidaknya saya sudah memenuhi salah satu unsur hobi, yaitu “menyenangkan” untuk saya.

Mengerjakan hobi artinya harus menerima konsekuensi anak-anak juga ikut kotor-kotoran bersama saya

Saya pernah menuliskan tentang hobi saya bercocok tanam itu menyelamatkan saya dari kebokekan. Tanaman yang saya tanam di pekarangan rumah yang tidak terlalu luas itu kebanyakan adalah tanaman sayur dan buah. Saya bisa jingkrak-jingkrak melihat tanaman buah saya mengeluarkan putik. Tak jarang tanaman-tanaman itu saya pandang setiap harinya. Bisa makan sayur atau buah dari hasil jerih payah saya sendiri itu bangganya luar biasa.

Salah satu tujuan saya bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan buah-buahan anak saya yang alergi. Buah yang bisa dia makan jarang ada di pasar. Jadi sebisa mungkin saya tanam semua buah yang dia bisa makan

Saya juga termasuk yang cenderung impulsif membeli kebutuhan terkait tanaman. Pokoknya semua lucu dan gemesin menurut saya. Lagi bokek pun kadang saya bela-belain beli. Gak peduli itu rumah saya sudah penuh sesak dengan tanaman atau apakah saya sanggup merawatnya, pokoknya harus punya. Salah satu upaya saya sekarang agar tidak impulsif ya tidak mendatangi penjual tanaman atau tidak berselancar ke market place. Godaannya beraaaaaat, pemirsaaaaahhhh kalo udah liat taneman. Alhamdulillah upaya saya lumayan berhasil nih, saya jadi tidak belanja impulsif beberapa bulan ini dan saya mulai bisa fokus merapihkan dan mengoptimalkan pertumbuhan tanaman yang ada.

*****

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan April 2022.

Keseruan Tradisi Ramadan Masa Kecilku di Sungailiat  

Halo Mamah, karena aku belum pernah punya pengalaman menemani anak berpuasa, aku ingin cerita Ramadan masa kecilku saja, ya!

Masa kecilku dihabiskan di salah satu kota di Pulau Bangka, yaitu Sungailiat. Kota kecil nan damai dan indah yang dikelilingi dengan pantai berpasir putih yang sangat cantik. Rumahku terletak di pusat kota, dekat dengan kampung nelayan dan tidak sampai satu km dari seberang rumahku adalah pantai.

Saat bulan Ramadan tiba, semua orang di kota Sungailiat sangat bersuka-cita menyambutnya. Sebelum Ramadan tiba, masjid-masjid dibersihkan secara bergotong royong oleh semua masyarakat, sampai bersih dan mengkilat. Dulu, kami sering menggunakan ampas parutan kelapa untuk membuat lantai masjid menjadi licin dan mengkilap. Kegiatan ini paling digemari anak-anak karena mereka bisa memanfaatkan momen lantai yang penuh ampas kelapa dan licin untuk bermain sepuasnya. Ada yang berpura-pura menjadi pendekar penabur ampas, ada yang berimajinasi menjadi pemain hoki es, bahkan cukup main lari-larian sampai terjatuh-jatuh pun sudah sangat seru sekali.

Saat bulan Ramadan, ada banyak masyarakat yang mengantar dulang penuh takjil enak ke masjid. Aku dan teman-temanku biasanya sudah duduk manis setengah jam sebelum waktu berbuka tiba di depan dulang-dulang takjil sambil mengelus perut kami yang sudah keroncongan. Kami harus punya strategi agar kami bisa duduk tepat di depan makanan incaran kami.

Selepas solat ashar, anak-anak sudah memenuhi masjid untuk “ngabuburit”, ngaji sebentar lalu kabur bermain sepuasnya di lapangan masjid. Suara kami saat bermain bisingnya luar biasa. Kalau ada yang menegur, kami hanya diam sebentar lalu lanjut ribut lagi. Kami hanya akan benar-benar diam saat Pak Pada datang. Pak Pada adalah imam masjid yang paling kami takuti. Jika suara motor vespa Pak Pada terdengar memasuki pelataran masjid, kami akan lari terbirit-birit ke dalam masjid untuk pura-pura berwudhu dan mengaji. Padahal, Pak Pada tidak pernah marah kepada kami, dia hanya menyuguhkan gesture dan raut wajah penuh kharisma sampai kami tidak berani untuk berbuat “nakal” di hadapannya.

Menjelang Ramadan, anak-anak di Sungailiat sibuk membangun pondok kecil dari daun pohon kelapa dan membuat pelita (red: penerangan dari sumbu dengan bahan bakar minyak tanah pada wadah kaleng susu kental manis atau botol). Dulu jarak antar rumah penduduk masih cukup jauh dan masih banyak hutan-hutan kecil di sekitanya, sehingga membuat pondok menjadi suatu kesenangan sendiri buat kami. Siang hari, pondok akan digunakan untuk bermain. Kalau malam hari, bisanya pondok akan digunakan sebagai sarana uji nyali: hanya anak-anak pemberani yang akan tinggal di pondok. Sayangnya, kami pada umumnya tidak berani untuk tinggal di pondok pada malam hari, selain karena nyamuknya banyak, siapa juga yang berani menentang hantu-hantu Bangka yang terkenal menyeramkan (dulu saya benar-benar percaya dengan adanya hantu).

Tradisi yang tak kalah menyenangkan di Sungailiat adalah satu minggu sebelum Idulfitri, anak-anak akan melakukan tradisi selikur, yaitu menyalakan pelita di depan rumah atau membawa pelita sambil berarak-arakan. Biasanya pada hari pertama, pelita yang dihidupkan satu buah, kemudian bertambah satu lagi pada hari keduanya, begitu seterusnya sampai pada hari ketujuh. Pada malam takbiran, pelita-pelita tersebut akan dibawa sambil melakukan arakan takbiran.

Kalau dipikir-pikir lagi, tradisi-tradisi itu sungguh menyenangkan ya, tapi sayangnya banyak yang tidak sejalan dengan syariat islam. Ya, seharusnya kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengaji, belajar agama, dsb dibandingkan dengan mengisi waktu dengan hal-hal yang kurang menambah keimanan kami. Semoga kita bisa mengisi Ramadan anak-anak kita dengan kegiatan menyenangkan dan sekaligus bermanfaat dalam menambah keimanan dan pemahaman akan islam.

Selamat menjalani ibadah Ramadan yang tinggal menghitung hari, semoga Allah Swt. menerima amanku dan amalanmu dan menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya serta mencapai derajat takwa. Amiiin.

Anak ITB di Mata yang Bukan Anak ITB

Rasanya aku sudah sangat geram sekali, entah sudah berapa minggu Leni tidak mengerjakan tugas piket mingguannya untuk beres-beres kosan. Nadia juga demikian, Kiki juga demikian. Anak-anak ITB ini benar-benar pemalas dan sok sibuk. Di kosan kami, kami tidak menyewa tukang bersih-bersih, jadi kami setiap hari secara bergiliran mendapat tugas piket untuk bersih-bersih kosan. Tugasnya tidak susah sih, hanya memasak nasi (pakai magic jar, hmm … sepertinya lebih tepat jika kukatakan tugasnya mencuci beras), menyapu dan mengepel, menyikat lantai kamar mandi dan membuang sampah dari dalam kosan ke bak sampah besar di depan kosan. Rumah kosan yang harus disapu dan dipel juga tidak seberapa luas, cukup swash-swish-swash-swish beberapa kali saja sudah selesai. Lantai kamar mandi yang disikat juga tidak seberapa luas, hanya beberapa ubin saja koq luasnya. Jangankan mengerjakan tugas piket, bahkan piring dan gelas bekas makannya saja seringkali sampai menggunung di kitchen sink karena sudah beberapa hari tidak dicuci. Baunya bukan main! Kalau kucuci piring-piring itu, mereka jadi tambah malas, tidak kucuci baunya benar-benar mengganggu, sungguh simalakama. “Urgggh … seballllll!!!! Sesibuk apa sih mereka itu sampai mengerjakan pekerjaan mudah itu saja tidak pernah sempat?”, pikirku.

Bau bekas makanan basi itu bener-bener bikin illfeel
sumber : wajibbaca.com

Kadang aku juga paham sih kalau mereka sepertinya lelah sekali, tidak jarang kulihat mereka baru pulang di jam 2 atau 4 pagi dan sudah harus berangkat kuliah lagi sebelum jam 7 pagi sambil tergesa-gesa seperti orang dikejar setan. Seringkali kulihat mereka bahkan tidak sempat mandi saat pergi kuliah, entah kapan mandinya kalau pulangnya lagi-lagi di jam 2 atau 3 pagi. “Boleh jadi anak ITB itu pinter-pinter, tetapi mereka itu ternyata jorok-jorok begitu, tidak sejalan antara otak dan kebersihan, ihhhh!”, bulu romaku rasanya bergidik memikirkan justifikasiku atas anak-anak ITB itu.


Kadang aku juga sebal sekali karena setiap kali aku mau mencuci baju, tiba-tiba jemuran sudah penuh dengan baju salah satu anak ITB yang sepertinya baru sempat dicuci seminggu sekali atau bahkan lebih. Seharusnya, kalau mereka tidak ada waktu buat mencuci setiap hari atau dua hari sekali, kenapa tidak di-laundry saja, sih? Uangnya juga tidak seberapa kan? Entahlah, kalau mencucinya sampai seminggu sekali begitu, apa stok celana dalamnya cukup ya? Artinya minimal dia harus punya stok 14 celana dalam kan ya kalau mencucinya baru sempat seminggu sekali? Atau jangan-jangan dia cuma pakai satu celana dalam untuk seharian? Atau mungkin jangan-jangan dia pakai side A dan side B? “Ahh … aku penasaran, nanti akan kuhitung saja jemuran celana dalamnya, kalau kurang dari 7 buah artinya anak ITB itu benar-benar jorok, tidak ganti celana dalam seharian”, ihhh … memikirkannya saja sudah membuat Miss V-ku gatal. Itu baru celana dalam, gimana dengan bra-nya? Wah … koq aku malah sibuk mau jadi detektif gini menghitung “daleman” mereka. Jaketnya saja (yang katanya jaket himpunan kebanggaan) sepertinya sudah berbulan-bulan tidak dicuci. Dan dugaanku pasti benar, aku belum pernah mendapati cucian jaket himpunannya bertengger di jemuran selama beberapa bulan ini.

Kepo sama jemuran anak ITB
sumber : grid.id


Si Kiki termasuk anak ITB yang agak rajin menurutku. Walau beberapa kali bolos piket kosan, tapi dia tidak separah si Leni. Kulihat dia tidak terlalu sibuk seperti si Leni. Aku masih seringkali bisa makan malam bareng dan nonton drama korea bareng sama si Kiki, dan kulihat sepertinya dia tidak terlalu punya banyak tugas. Masalahnya si Kiki ini suka sombong, kalo gak ngomongin dan ngebanggain dirinya, ya ngebanggain ITB terusss. Males banget kan jadinya ngobrol sama dia.


Si Nadia lebih aneh lagi, setiap kali dia stres, dia akan memutar lagu mars ITB sekencang-kencangnya, sampai seantero kosan kedengeran, dan pasti orang-orang yang melintas di gang samping kosanku pun akan mendengarnya juga. Yang lebih menyebalkannya lagi, si Nadia ini dalam seminggu bisa berapa kali stress. Prett banget dah …, rasanya pengen muntah dengar lagu begituan. “Ya Tuhan, beri aku kesabaran menghadapi anak-anak ITB ini. Mereka benar-benar seperti alien di muka bumi ini!”.


Suatu hari, aku pernah diajak oleh salah satu teman kosanku yang anak ITB (si Leni) jalan-jalan ke kampus ITB. Aku memang sudah beberapa kali mengunjungi kampus ITB, tetapi biasanya di waktu libur akhir semester, saat kampus ITB tidak terlalu ramai. Dan kali ini aku mengunjungi ITB saat perkuliahan sudah dimulai. Aku bisa melihat sendiri hiruk pikuk perkuliahan anak ITB di pagi hari. Selama sejam aku mengamati mereka, aku benar-benar dibuat terpingkal-pingkal oleh tingkah laku anak ITB, tingkah mereka benar-benar out of the box, aneh-aneeeeeh sekali, bahkan baru kulihat seumur hidupku.

Kampus ITB
sumber : news.detik.com

Bayangkan saja, banyak sekali anak ITB yang berjalan sambil mengoceh sendiri, seperti orang gila. Ada anak ITB yang lari tunggang langgang dengan muka merah padam sambil membawa entah makalah atau apa lalu diikuti beberapa orang lain yang sama terbirit-biritnya menuju suatu tempat. Kata temanku, biasanya itu karena ada deadline mengumpulkan tugas. Satu hal yang pasti, selama sejam aku mengamati, semua anak ITB itu culun-culun, mukanya datar, serius, keningnya berkerut-kerut, wajahnya kusam, kantung matanya hitam tebal, mulutnya manyun, tak tampak ada keceriaan, bahkan saat mereka saling sapa pun ekspresinya datar walau mereka tertawa. Sepertinya sari kebahagiaan mereka sudah habis dilahap dementor. Kuliah disana tampaknya benar-benar menyeramkan, ya?


Semua anak ITB yang kulihat pagi itu, tidak ada satu pun yang stylish, tidak jauh berbeda seperti teman-teman kosanku yang anak ITB itu, semuanya culun-culun. Pakaian mereka ke kampus benar-benar kacau-balau: ada yang celana dalemannya (dan itu jelas-jelas celana piayama) balapan dengan rok panjangnya, sepatunya kotor-kotor, bajunya kumel-kumel (curiga baju beli di Gede Bage), banyak yang berjaket tebal dan berwarna aneh-aneh (kata temanku itu adalah jaket himpunan kebanggaan, dan aku pun curiga sepertinya semua jaket itu juga tidak dicuci berbulan-bulan lamanya). Beda sekali dengan kampusku, anak-anaknya semua rapi, wangi, dan stylish. Di kampusku, kalian pasti senang mendengar harmonisnya suara tik-tok-tik-tok dari heels sepatu para mahasiswi yang saling bersahutan, pasti tepana melihat rambut-rambut yang tergerai rapi, riasan yang merona, baju dan tas girly dengan model terbaru. Para mahasiswi itu tampak bagai bidadari anggun nan menawan. Di kampusku, kalian akan menemukan tawa riang tanpa beban memenuhi semua sudut kampus. Ahh … beda sekali auranya dengan kampus ITB ini.


Aku bersyukur Tuhan tidak meluluskan aku untuk kuliah di ITB, walau mungkin sepertinya masa depanku tidak secerah anak-anak ITB, tetapi ku tak sanggup mejalani hidup seperti anak-anak ITB itu. Biarlah, nanti kucari saja jodoh anak ITB, kalau cowok mungkin masih bisa kutolerir lah kalau dia dulu hobi pakai jaket yang berbulan-bulan tidak dicuci atau bermuka kusam (nanti bisa kupermak, kasih skincare dikit pasti kinclong). Cowok-cowok ITB yang mapan pasti akan cari cewek yang bersih, rapi, wangi, dan kinclong kan ya?

****

Pengalaman pertama menulis fiksi dan dihadapkan dengan deadline, yeay … setidaknya sudah mencoba demi memenuhi “Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog” yang sudah beberapa bulan tidak aku ikuti lagi. Mohon koreksinya ya para Mamah ….

Olahraga Gara-gara VIRAL

Beragam upaya dilakukan perusahaan dalam upaya mencegah penyakit menjangkiti karyawan dan keluarganya. Perusahaan tempat saya bekerja misalnya, selain menyelenggarakan Medical Check Up untuk karyawan dan keluarga setiap tahunnya, juga menyediakan sarana olahraga (seperti kolam renang, lapangan bola, lapangan tenis, lapangan badminton, lapangan softball, sarana tinju, sarana fitness, dll) serta memberikan waktu khusus di jam kerja untuk karyawan agar dapat berolahraga. Setiap lantai di kantor juga difasilitasi dengan treadmill dan sepeda statis, tetapi sayangnya untuk fasilitas yang satu ini jarang dilirik oleh karyawan. Malu keleus lelumpatan sambil dipelototin temen-temen kantor!

Godaan VIRAL

Dengan segala kemewahan fasilitas itu, ternyata tidak banyak karyawan dan keluarga yang minat berolahraga. Perusahaan holding kami pun berupaya untuk men-trigger karyawan dan keluarga agar antusias berolahraga. Program kekinian pun digeber agar karyawan dan keluarga dapat konsisten berolahraga dengan cara yang fun. Program VIrtual Run, wAlking, and cycLing (disingkat dengan VIRAL) diinisiasi beberapa tahun lalu dengan memanfaatkan aplikasi Strava. Saya sendiri baru ‘ngeh akhir tahun lalu dengan program ini.

Pantas saja dulu setiap kali saya dinas ke kantor perwakilan di Jakarta (yang juga menjadi kantor Holding), mulai pukul lima sore, halaman kantor yang tidak seberapa luas ramai dengan karyawan yang berjalan cepat mengelilingi halaman tersebut. Beberapa karyawan sudah berganti atasan kaos oblong, banyak juga diantaranya masih berseragam kantor lengkap. Dulu saya mengira mereka sedang diskusi sambil jalan ((sotoy)). Jika saya tanya mereka sedang apa, mereka akan jawab: “sedang VIRAL” ((jawaban yang mengada-ada saya pikir saat itu, mungkin demi konten)). Demikian juga saat sedang rapat koordinasi antar anak perusahaan Holding, sepadat apapun pekerjaan, setiap pukul lima sore pekerjaan akan dihentikan sementara agar peserta dapat ber-VIRAL ria dan rapat akan dilanjutkan kembali setelah waktu salat isya. Tak jarang, saya mendengar obrolan teman-teman kantor seputar target-target olahraga yang telah atau ingin dicapai dan race-race apa yang akan diikuti.

Sebagai upaya menyemangati karyawan dan keluarga, setiap bulan diadakan undian doorprize dengan hadiah yang menarik. Karyawan dan keluarga yang telah memenuhi target olahraga minimal yang dipersyaratkan VIRAL akan mendapatkan kesempatan mengikuti undian doorprize tersebut. Karyawan dan keluarga yang konsisten memenuhi target minimal bulanan selama setahun juga akan medapatkan kesempatan mengikuti undian doorprize tahunan dengan hadiah yang sangat menggiurkan.

Adapun Rules VIRAL adalah sbb:

wAlking: minimal 2,5 km per aktivitas. Per bulan minimal 8 aktivitas dengan capaian akumulasi jarak minimal 40 km/bulan.

Run: minimal 2,5 km per aktivitas. Per bulan minimal 8 aktivitas dengan capaian akumulasi jarak minimal 40 km/bulan.

Cycling : minimal 10 km per aktivitas. Per bulan minimal 5 aktivitas dengan capaian akumulasi 80 km/bulan.

Saya dan VIRAL

Sebelum Gerd menyerang saya sekitar sepuluh tahun lalu, saya termasuk yang
rajin berolahraga. Saat kuliah, saya jogging minimal seminggu sekali
di Sabuga. Udara Bandung yang dingin di pagi hari, bikin sebanyak apa pun lari
jadi tidak berkeringat. Saat kuliah memasuki tingkat empat dengan beban kuliah yang sudah tidak terlalu berat, saya mulai ikut senam aerobik rutin di Sabuga.

Bagi saya yang penyakitan bertahun-tahun, jangankan berolahraga, jalan saja saya limbung. Sebagai ibu pekerja, bekerja dan mengurus rumah tangga itu sudah cukup menguras waktu dan energi, sehingga olahraga tidak pernah masuk list prioritas saya. Sampai suatu hari saya mencoba ikut VIRAL. Saya coba jalan saja sepulang kantor dengan masih berpakaian kerja ((malas ganti baju olahraga dan tidak sempat tentunya)). Lumayan, 2,5 km bisa dicapai dengan setengah jam.

Saking semangatnya jalan, sampe ada yang sol sepatunya lepas dan ada yang terpaksa nyeker karena lupa bawa sepatu olahraga

Awalnya setiap saya walking sendirian di sekitaran kantor, orang-orang akan memandang saya aneh. Sebenarnya tidak aneh dengan walking-nya karena komplek kantor ramai dengan karyawan dan keluarga yang berolahraga, tetapi aneh dengan saya yang berolahraga dengan pakaian kerja. Lama-kelamaan orang-orang jadi tertarik mengikuti saya. Sekarang, sudah banyak grup karyawati yang berjalan di sekitar komplek perumahan kantor setiap pulang kerja. Bahkan, saat hujan pun tetap dibela-belain jalan, walaupun cukup mondar-mandir mengelilingi aula. Asyiknya karena program ini diinisiasi oleh perusahaan, kegiatan ini didukung penuh sama atasan. Bos saya contohnya, sekarang setiap pukul lima sore mulai menyuruh kami pulang untuk VIRAL. Perusahaan juga sampai memberikan sepatu olahraga untuk karyawannya.

Jalan sepulang kantor

Beberapa bulan ini mengikuti program VIRAL, Alhamdulillah saya masih konsisten sampai sekarang, termasuk konsisten gak pernah naik-naik pencapaiannya, hehehe. Target saya sih belum tercapai, yaitu bisa lari minimal 5 km per hari. Tak mengapa, ini sudah suatu pencapaian besar buat saya, setidaknya saya akhirnya bisa olaharaga jugaaaaaa.

BPJS Kesehatan : No Mahal-mahal

Pertama kali saya ditugaskan mengurus program kesehatan karyawan dan keluarga adalah tahun 2014. Tugasnya gak main -main: desain program kesehatan karyawan dengan memanfaatkan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara utama dan rumah sakit perusahaan sebagai penyelenggara benefit tambahan. Syok rasanya saat itu, pertama karena saya itu engineer bukan dokter: mana saya paham istilah kedokteran apalagi sampai harus desain program kesehatan baru segala. Kedua, saya tidak punya senior yang bisa saya tanya-tanya. Dokter perusahaan tempat saya bekerja cuti untuk melanjutkan sekolah spesialisnya untuk jangka waktu minimal empat tahun ke depan tanpa meninggalkan dokumen maupun supporting data, semua benar-benar saya mulai dari 0, seperti slogan Pertamina itu, lho! Pengalaman saya dalam pelayanan kesehatan pun nihil. Apalagi nih yang bakal saya ajak kerjasama itu BPJS Kesehatan yang baru akan launching programnya per 1 Januari 2015, yang belun launching pun udah dihujat dimana-mana. Selain itu, rumah sakit perusahaan yang akan diajak kerjasama juga sudah bertahun-tahun selalu mendapat complain dan mulai ditinggalkan karyawan karena asuransi kesehatan yang biasa kami ajak kerjsaama memiliki banyak pilihan provider rumah sakit.

Derita saya ternyata belum berhenti sampai disitu, saya pun harus membantu mendesain program kesehatan pensiunan dan keluarga. Kenapa berat? Karena claim ratio pensiunan sangat tinggi dengan biaya yang terbatas, tetapi tuntutan pensiunan akan benefitnya itu selangit. Rasanya saat itu saya pengen muntah deh karena pekerjaan saya sebelum ditambahi tugas ini pun sudah luar binasa bikin sengsara : evaluasi program pascakerja yang semuanya berhubungan dengan ilmu aktuaria.

Rupanya ilmu aktuaria inilah yang membuat saya dipercaya untuk mendesain banyak program, saya jadi bisa memperkirakan berapa biaya premi asuransi dan saya hampir selalu didapuk saat negosiasi dengan banyak pihak.

Well, saat pertama kali BPJS launching programnya di tahun 2015, saya benar-benar dibuat terpelongo dengan premi yang sangat murah tetapi cakupan benefitnya sangaaat luas. ”Pasti rugi besar dan pasti gak akan bisa bertahan lama”, pikir saya. Namun, gak mungkinlah program ini dibuat abal-abal karena konsepnya sudah digodok bertahun-tahun lamanya, UU no. 40 tentang SJSN saja yang salah satunya mengatur jaminan kesehatan sudah disahkan sejak tahun 2004. Beruntung karena diamanahi tugas baru ini, saya jadi memiliki kesempatan untuk berdiskusi dengan banyak pihak bagaimana roadmap sebenarnya dari BPJS Kesehatan ini. Secara pribadi saya menilai hadirnya BPJS Kesehatan ini sungguh suatu program ajaib untuk masyarakat.

Meniru Program Kesehatan di Belanda

Dalam mendesain program, pemerintah berupaya berkiblat pada negara yang penyelenggaraan program kesehatan terbaik di dunia: salah satunya Belanda. Pelayanan kesehatan di Belanda tidak lagi berfokus pada fase kuratif tapi sudah sampai pada fase preventif. Program-programnya tidak hanya berfokus pada pengobatan, tetapi pada tahap pencegahan yang masih merupakan barang mewah di negara berkembang seperti kita. Namun, distorsi informasi, pemahaman, dan standar pelayanan kesehatan juga perlu banyak dibenahi jika ingin menerapkan seperti Belanda. Misal, di Indonesia melahirkan dengan bidan itu diartikan sebagai golongan masyarakat kurang mampu, sedangkan di Belanda kalau sampai ada yang melahirkan harus dibantu dokter kandungan artinya proses kelahirannya bermasalah (di Belanda ibu-ibu hamil berdo’a jangan sampai saat melahirkan harus dirujuk ke dokter kandungan). Di Belanda misalnya, pemeriksaan kandungan cukup empat kali saja selama masa kehamilan. Kalau di Indonesia udah diprotes habis-habisan saat bidan tidak memberikan rujukan untuk pemeriksaan ke dokter kandungan.

Perbedaannya, di Belanda program kesehatan dikelola oleh pihak swasta (asuransi) tetapi sistemnya diatur sedemikian rupa oleh pemerintah. Pemerintah Belanda misalnya membuat sistem pelayanan yang terintegrasi antar rumah sakit atau membuat regulasi praktik dokter yang bisa berfokus di satu rumah sakit saja. Di Indonesia, sistem ini terpadu dikendalikan oleh BPJS Kesehatan, dan BPJS Kesehatan sendiri adalah badan ynag bertanggung jawab langsung kepada presiden walau regulasinya masih diatur penuh oleh Kementerian Kesehatan.

Duh, maaf ya anak saya sudah nangis-nangis nih, saya lanjutkan lagi nanti dengan headline di bawah ini deh.

Pemerataan Pelayanan untuk Seluruh Rakyat Indonesia

Cakupan Pelayan Terlengkap dengan Biaya Termurah

Managed Care : Azas Gotong Royong

Fasilitas Kesehatan (Faskes) dan Tenaga Medis Apakah Dirugikan?

Upaya Perbaikan Berkelanjutan

Sistem yang Berubah-ubah

Peraturan BPJS Kesehatan terbaru: COB BPJS Kesehatan dengan Asuransi Kesehatan Swasta

Ketahanan Pangan : Mungkinkah Pertanian Tanpa Pupuk Kimia?

Akhir-akhir ini berseliweran berita tentang mulai terjadinya krisis energi di beberapa negara yang diperkirakan akan terjadi dalam masa yang panjang. Krisis energi ini akan memperburuk upaya kebangkitan ekonomi imbas dari pandemi covid-19. Penyebab krisis energi ini diantaranya adalah adanya penurunan jumlah produksi bahan baku pembangkit listrik yang berdampak ke harga komoditi bahan baku menjadi mahal. Selain itu, mulai digalakkan upaya untuk mengubah pembangkit energi berbahan bakar fosil ke energi bersih atau energi hijau. Ternyata komitmen peralihan ke energi bersih ini berdampak signifikan terhadap krisis energi. Peralihan ini harus dicanangkan dengan matang, terutama kesiapan energi bersih penggantinya. Produksi energi bersih belum dapat memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Setelah lebih dari tiga abad sejak dimulainya revolusi industri kita berupaya mengeksplorasi Sumber Daya Alam besar-besaran, sekarang kita diingatkan kembali bahwa ekspolarasi itu sungguh merusak dan menyakiti bumi tempat kita hidup dan bertumbuh.

Sama halnya dengan energi, demikian juga dengan pupuk kimia. Nasibnya sama : simalakama. Di banyak penelitian, pupuk kimia dikatakan memperburuk kondisi hara tanah dan tidak baik bagi kesehatan manusia, tetapi mau ditinggalkan juga tidak bisa karena produksi pupuk organik masih kalah telak dengan kebutuhan akan pupuk untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Pupuk organik yang dibangun perusahaan tempat saya bekerja misalnya, terpaksa gulung tikar karena kekurangan bahan baku kotoran hewan. Simalakama pun berlanjut karena peternakan hewan sendiri merupakan penyumbang terbesar atas penyebab krisis iklim (daya rusak nitrat oksida yang berasal dari urin hewan memiliki daya rusak 310 kali lipat dibandingkan karbon dioksida terhadap atmosfer bumi). Duh … pusing kan ya?

Kalau pusing, bagaimana kalau kita mencoba untuk lebih bijaksana dalam menggunakan energi dan mulai mencoba ketahanan pangan dari dalam rumah kita sendiri. Bagaimanapun, cepat atau lambat kita dituntut untuk mulai beralih ke segala hal yang lebih ramah lingkungan dan itu hanya dapat terwujud jika kita mulai mengurangi konsumsi dan bijak dalam konsumsi (yang tentu akan berdampak ke proses produksi). Saya misalnya, mencoba memanfaatkan pekarangan rumah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Walau belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, tetapi hasilnya sangat lumayan, minimal untuk kepuasan batin.

Pempek Palembang : Favorit Berjuta Umat

Adakah makanan khas suatu daerah yang setiap hari tidak pernah bosan disantap oleh penikmatnya? Sepanjang yang saya tahu sih belum ada ya, kecuali pempek. Bagi orang yang tinggal di Palembang, baik itu pendatang sekalipun, makan pempek itu seperti sebuah keharusan setiap harinya. Terasa ada yang kurang jika hari itu tidak makan pempek. Pagi makan pempek, sore makan pempek, besok makan pempek, lusa makan pempek lagi, kemarin makan pempek, mereka tidak pernah merasa bosan. Kalau pun bosan, biasanya mereka beralih ke makanan pengganti yang bahan dasarnya sama dengan pempek, hanya berganti kuah saja, seperti tekwan (pempek dengan kuah kaldu udang), model (pempek ditambah tahu dengan kuah kaldu udang juga), celimpungan (pempek dengan kuah bersantan kuning dicampur sedikit daging ikan giling), dan laksan (pempek dengan kuah santan pedas).

Tekwan
Tekwan : Pempek Kuah Kaldu Udang
Sumber : Liputan6.com/IG/fenita.d2

Mengapa pempek Palembang lebih terkenal dibanding pempek daerah lain? Padahal, rasa pempek daerah lain biasanya lebih kuat/nendang rasa ikannya. Pempek berbahan dasar ikan laut akan lebih terasa “ikan”-nya, tetapi biasanya lebih liat/alot jika dibuat pempek. Beberapa ikan laut (seperti ikan sarden/makarel) jika dibuat pempek lebih terasa “gemuk” dan lembut. Pempek khas daerah Palembang teksturnya halus dan lembut dengan rasa yang lebih hambar karena biasanya terbuat dari ikan gabus. Mungkin banyak yang lebih suka pempek Palembang karena banyak orang yang alergi dengan ikan laut atau tidak suka bau “amis-manis” khas ikan laut. Jika membuat pempek berbahan dasar ikan gabus hanya mengandalkan garam saja sebagai perasa, rasanya dipastikan akan hambar. Makanya, pada umumnya pempek ikan gabus butuh penyedap rasa supaya rasanya lebih “nendang” atau biasanya dicampur dengan ikan tenggiri untuk menambah cita rasa khas “ikannya”. Perpaduan pempek dari ikan gabus dan ikan tenggiri inilah yang paling maknyus, rasanya “nendang” tapi tidak liat/alot.

Selain itu, pempek Palembang menjadi terkenal karena rasanya cuko-nya yang pas. Perpaduan pempek yang kenyal-lembut (dan juga garing ketika digoreng) ketika bertemu dengan cuko yang asam-manis-pedas terasa sangat nikmat. Pempek dan cuko menimbulkan rasa kenyang, tetapi tidak membuat eneg. Itulah mengapa pempek selalu nikmat untuk disantap setiap hari. Karbo dari sagu atau tapioka dan protein dari ikan, sudah dianggap pengganti sarapan/makan malam buat sebagian orang.

Membuat pempek itu gampang-gampang susah. Saya yang bertahun-tahun tinggal di Palembang juga tak pandai membuat pempek. Kalaupun rasanya oke, bentuknya suka gak oke.
(Perutnya gendut ya? itu saya lagi hamil adek usia kandungan 5-6 bulan)

Kunci rahasia cuko Palembang yang enak itu ada pada gula batok yang terbuat dari nira pohon aren. Kualitas gula batok berperan besar dalam menentukan rasa cuko itu nikmat atau tidak. Saya sendiri walau sudah lama tinggal di Palembang, sampai sekarang belum paham mengapa gula batok dan gula aren yang sama-sama terbuat dari nira aren, tetapi memiliki karakteristik yang berbeda. Gula batok berwarna hitam dan keras, sedangkan gula aren berwarna lebih muda dan lebih lembut. Cuko Palembang itu akan terasa enak kalau teksturnya kental. Cuko pempek khas Bangka misalnya, karena menggunakan gula kelapa, cukonya menjadi encer dan berwarna coklat pucat, rasa asamnya berasal dari jeruk kunci/kalamansi. Kata orang Palembang, cuko yang tidak kental hitam itu bagai “kencing kuda” saja.

Gula Batok (Tokopedia : Aops_Shop)

Memilih Pempek yang Berkualitas

Harga pempek tergantung dengan jenis ikan yang digunakan. Jenis ikan dan tingkat kesegarannya akan sangat berpengaruh pada tekstur, rasa, dan aroma pempek. Pempek ikan gabus biasanya berkisar di harga Rp.3.000-Rp.4.000 per buah. Jika pempek terbuat dari ikan gabus dan tenggiri, harganya akan lebih mahal lagi mencapai Rp.4000-Rp.5000 per buah. Kadang ada pempek ikan kualitas bagus agar terlihat lebih murah ukurannya diperkecil. Pempek yang paling mahal itu pempek yang terbuat dari ikan belido karena ikan belido mahal dan langka. Pempek murah, bukan berarti kualitasnya gak oke. Biasanya pempek yang murah dibuat menggunakan campuran ikan gabus dengan yang lebih murah, seperti ikan kakap, ikan betino, ikan parang-parang, sarden, dll. Ikan yang lebih murah rasanya tetap enak, tetapi aromanya lebih menyengat.

Pengalaman Lucu Dalam Berbahasa

Gara-gara Tantangan Ngeblog Mamah Gajah Ngeblog Bulan September 2021 , saya jadi merenungi kemampuan berbahasa saya. Dua tahun lalu saya sempat ikut tes TOEFL, dan hasilnya nilai saya hanya 500 saja saudara-saudara. Terkezutlah saya liat soal-soal grammar itu. Kosakatanya pun saya banyak blank. Selain bahasa Indonesia dan Palembang, saya hampir tidak pernah lagi berbicara dan menulis in English, demikian juga membaca artikel atau buku berbahasa Inggris. Padahal banyak sekali novel berbahasa Inggris saya yang masih bersegel rapi, belum dibaca sama sekali. Ahh, itu baru Bahasa Inggris yang sebelumnya sering saya gunakan. Apalagi bahasa asing lain yang hampir tidak pernah saya gunakan lagi (saya sempat belajar bahasa Jepang, Arab dan Italia level dasar). Ya sudahlah, tak mengapa, toh belum kepake juga (berharap beneran bisa kepake sih nanti, walaupun dijamin pasti udah lupa semua).

Saya sedang mencoba serius belajar bahasa Arab dalam beberapa tahun ke depan, setidaknya sampai level bisa memahami sedikit-sedikit modul/buku berbahasa Arab perkuliahan saya di International Open University (IOU).

Okeh, kali ini saya mau berbgai cerita pengalaman lucu saya dalam berbahasa saja ya. Semoga dapat menghibur!!!

Pulau Bangka dan Ratusan Bahasa

Buat yang pernah tinggal di Pulau Bangka, ada hal yang sangat unik disana. Setiap desa memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Bahasa dan logat tiap desa bisa berbeda signifikan. Desa loh … desa ini, ibaratnya kalo di Bandung, bahasa orang Taman Sari ama bahasa orang Cisitu itu udah sangat berbeda, padahal Taman Sari ama Cisitu itu deket kan? Ehhh … pas ke Dipati Ukur, udah beda lagi bahasa dan logatnya. Di Bangka mudah sekali buat kita mengenali asal desa seseorang dari bahasa dan logat mereka saat berbicara.

Bahasa yang paling lucu menurut saya dari salah satu desa di Bangka itu adalah bahasa “Desa yang gak punya huruf S”. Setiap ada kosakata dengan huruf “S” akan diganti menjadi “H” : Sabun dibilang Habun, Masak jadi Mahak, Susu jadi Huhu, Susi Susanti jadi Huhi Huhanti. Kebayang gak sih gimana mereka bilang “Ssssssstttttttt”? Ya silakan aja dicoba dengan mengganti pelafalan S menjadi H … Hhhhhhhtttttttt …

Apakah logat itu genetik atau faktor lingkungan ya???

Bahasa Palembang : Katek VS Dak Katek, OOO galo, dan Jangan Marah Dong!

Temen-temen kantor saya banyak yang berasal dari luar daerah Palembang. Selain harus beradaptasi dengan pempek dan cuko, mereka juga tak henti-hentinya membahas kosakata bahasa Palembang : Katek VS Dak Katek . Arti kata “Katek” itu adalah “Tidak Ada/Enggak Ahhh”. Mereka sibuk meributkan kenapa “Dak Katek” artinya sama dengan “Tidak Ada/Enggak Ahhh”, seharusnya dengan adanya kata negasi “Dak” di depan “Katek” artinya otomatis menegasikan juga kata “Tidak”. Jadi seharusnya, arti “Dak Katek” itu adalah “Ada”. Orang Palembang bantah lagi, kan ada kata “Dak” yang artinya “Tidak/Enggak”, masak arti “Dak Katek” jadi “Ada”? Bingung? Sama, tapi saya males mikir, ya udah lah ya biarin aja, hanya gara-gara “Katek” dan “Dak Katek” bikin mereka terbahak-bahak bahagia. Lebih baik saya mikir, besok makan pempek dimana lagi, itu jauh lebih penting!!!!

Bahasa Palembang juga identik dengan akhiran A yang diubah menjadi O. Semua kata berakhiran A diubah menjadi O. Saat kita melafal kata dengan akhiran A, bentuk bibir kita terbuka dan menarik ke atas, secara otomatis kita seakan seperti tersenyum. Ketika kita melafalkan kata dengan akhiran O, otomatis bentuk mulut kita menutup, memonyong dan mengeras, seakan-akan seperti sedang marah. Okeh, bolehlah kita coba ya. Coba kalian lafalkan kata “dimana” dan “dimano”, kerasa kan beda auranya? Nah … karena mostly bahasa Palembang berakhiran O, maka setiap kali orang Palembang berbicara seakan-akan seperti mau marah. Bertahun-tahun sejak saya pindah ke Palembang (pindah sejak kelas 3 SD), saya menghindari menggunakan bahasa Palembang. Saya sendiri suka terkezuuut kalau berbincang dengan teman-teman sekolah saya. Kerasanya mereka mau marah-marah terus sama saya, padahal enggak, ya itu karena efek akhiran O.

Herannya, setelah saya punya anak, malah saya sendiri yang sekarang hobi berbahasa Palembang, even di kantor sekalipun. Saat presentasi saya bahkan sering menyelipkan bahasa Palembang. Apalagi kalo lagi marah-marah, cas cas cis keluar semua rentetan O O O O O O. Kenapa saya sekarang saya jadi hobi berbahasa Palembang ya? Enggak ngerti juga sih. Yang penting, besok kita makan pempek lagi kan!!!

Gemetaran Gara-Gara Guru Bahasa Inggris

Ehhh ada yang kenal drummer grupband Armada gak? Saya kenal donk, dia teman sekolah saya (terus hubungannya apa, wkwkwkw?). Waktu saya kelas 1 SMP, dia suka jadi penyelamat saya di pelajaran Bahasa Inggris. Saya termasuk siswi yang Bahasa Inggrisnya sungguh sangat payah, dan si drummer Armada itu pinter Bahasa Inggris. Setiap ada tugas LKS Bahasa Inggris, pek ketiplek saya nyontek dia aja. Selamatlah saya di kelas 1 SMP dengan nilai yang gak terlalu jelek karena berhasil mencontek dengan smooth.

Kelas 2 SMP, ternyata Tuhan menakdirkan saya untuk hobi shaking alias gemetaran. Apa sebab? Guru Bahasa Inggris-nya strict abis. Dia tahu betul anak-anak yang payah Bahasa Inggrisnya, dia pepetin terus di setiap jam pelajarannya. Nama saya berulang-ulang disebut saat jam pelajaran guru Bahasa Inggris itu. Alamaaaak Mateeeek sayaaa!! Manalah ngerti saya Bahasa Inggris, “The” aja saya baca “te” bukan “de”. Mati saya, mati saya!! Apalagi setiap ujian (sekali lagi, setiap ujian, setiap) si Bapak hobi sekali berdiri di samping saya sambil senyam-senyum memandang saya yang gemetaran menulis jawaban, sampai-sampai pulpen saya bolak-bolak jatuh ke lantai. Si Bapak tampak sangat menikmati momen-momen shaking saya. Urgghh, helpppppp!!! Kenapa pulak si Bapak ini gak pernah bolos ngajar seperti guru-guru lainnya sih? Stres tauk saya dibuatnya!!!

Cinta Monyet VS Bahasa Inggris

Sejak sering dibuat stres oleh si Bapak Guru Bahasa Inggris kelas 2 SMP, saya jadi terobsesi belajar Bahasa Inggris. Sehari sebelum pelajaran si Bapak, saya pasti sudah mencari satu per satu arti kata artikel yang akan diajarkan si Bapak. Singkat cerita, saya harus berterima kasih sama si Bapak, berkat beliau saya jadi gak bodoh-bodoh amat lah Bahasa Inggrisnya.

Suatu hari, saya mencoba ikut tes beasiswa yang diadakan suatu tempat kursus Bahasa Inggris. Lumayan, beasiswanya kursus gratis selama setahun. Setelah mengikuti serangkaian tes, saya pun berhasil meraih beasiswa tersebut. Saya bebas memilih kelas/level apa yang mau saya ikuti. Saya akhirnya memilih kelas persiapan menjadi guru Bahasa Inggris, trial dulu lah karena Mama menyuruh saya untuk jadi guru Bahasa Inggris saja nanti. Setelah serangkaian pelatihan menjadi guru, tiba waktunya saya untuk magang di kelas-kelas dengan level yang berbeda-beda, mulai dari Elementary sampai level Advanced. Suatu hari saya harus mengajar di kelas Intermediate. Level Intermediate biasanya diisi oleh anak-anak SMU, anak kuliahan, bahkan beberapa sudah bekerja. Supaya tidak disangka anak SMU dan murid bisa respect sama saya saat mengajar, penampilan saya buat sok tua dan sok bijaksana. Salah satu murid laki-laki yang seumuran dengan saya, sepertinya tahu kalo saya masih guru abal-abal aka magang, jadi sepanjang pelajaran dia bolak balik senyum melihat saya, gak tahu karena meremehkan atau apa. Setiap saya mengajar, dia selalu seperti itu.

Suatu hari, dari dalam angkot, saya melihat murid cowok itu (selanjutnya saya sebut “Dia” saja ya) beserta rombongan teman-temannya sedang menunggu angkot di halte. Dari jauh saya sudah komat-kamit berdo’a jangan sampai Dia seangkot sama saya. Nanti jadi ketahuan donk kalau saya cuma anak SMU karena saat itu saya sedang menggunakan seragam SMU. Untunglah Dia dan teman-temannya tidak jadi naik angkot yang sedang saya tumpangi.

Tak berapa lama, di suatu kompetisi debat Bahasa Inggris, tiba-tiba saya dihampiri oleh salah satu cowok yang senyam-senyum melihat saya. Ya Tuhan, akhirnya ketahuan juga kalau saya baru anak SMU sama si Dia. Untung Dia tidak jadi lawan debat saya, tapi saya tahu kalau Dia menonton saya lomba debat. Tak berapa lama berselang, saya bertemu lagi dengan murid saya itu di suatu tryout SPMB. Arghh, saya jadi gak bisa jaim lagi donk saat mengajar di depan cowok yang bikin saya jadi debar-debar dan salah tingkah itu, entah karena malu ketahuan atau karena cinta monyet. Saya tahu koq, setelahnya, diam-diam kita masih suka saling mencari dan mencuri pandang, uhuyyy!!! (itu pertama kalinya saya merasa salah tingkah di depan cowok dan untung gak berlanjut! Salah tingkah itu bikin gak bisa konsentrasi, euy!)

Mouth to Mouth

Ini cerita memalukan saya yang jadi favorit suami, soalnya paling sering dia ungkit-ungkit. Suatu hari, teman saya meminta bantuan saya untuk membuat proposal bisnis untuk suntikan modal usaha yang akan dia ajukan ke inkubator bisnis. Proposal yang saya buat cukup keren lah karena berhasil menarik perhatian para juri. Presentasi hari itu menjadi momen tak terlupakan buat saya karena saya ditertawakan sampai mampus sama para juri karena sok Meng-English-kan Bahasa Indonesia. Maksud hati ingin bilang, salah satu metode pemasaran yang akan kami lakukan adalah dengan cara “dari mulut ke mulut” dan dengan pede-nya saya tulis “Mouth to Mouth“. Oalahhh, jadi ketahuan deh amatirannya. Saya bahkan baru tahu kalau in English “pemasaran dari mulut ke mulut” itu adalah adalah “Word of Mouth”.

Sumber : blog.okutamarketing.com

Belajar Bahasa Italia, demi …

Dulu saya pernah ikut kursus Bahasa Italia di Lembaga Bahasa ITB. Iseng aja sih, biayanya murah soalnya, cuma Rp.100.000 per bulan atau per tiga bulan (saya lupa tepatnya). Lumayan kalau bisa buat nambah panjang CV, kan?

Suatu hari, Insengante-nya membahas pelajaran tentang bagian-bagian tubuh. Lalu dibahas lah tentang hobi orang Itali melakukan operasi plastik atas “kelebihan-kelebihannya”. Yah, maksudnya begini, orang Itali hidungnya terlalu mancung, sehingga mereka melakukan operasi untuk “mempesekkan hidungnya” (ngerti kan ya maksudnya?). Orang Italia bibirnya tipis-tipis, sehingga mereka melakukan operasi plastik untuk “mememblekan bibirnya”. Insengante tak habis-habisnya mencontohkan saya sebagai favorit orang Italia karena berhidung pesek mengembang dan berbibir tebal. Sejak saat itu saya jadi rajin belajar Bahasa Italia. Saya berhayal, siapa tahu nanti saya bisa menikah dengan orang Italia dan memperbaiki keturunan saya. Pede saya meningkat drastis. Sebagai cewek yang kurang laku secara fisik di Indonesia, saya bisa dianggap cantik koq di Italia! Padahal mungkin, Insegnante hanya iseng saja menjadikan saya contoh, membuat saya ge-er. Hahaha, dasar anak muda!!!